Jadilah Ibuku Sekali Lagi, Sebuah Puisi Tentang Ibu

August 26, 2017 Posted by Edutafsi ,
Dini hari, saat semua mata terpejam
Sepasang mata bola terjaga cahayanya
Melingkar di perut kedua tangannya
Mencoba bertahan, demi si kecil yang ingin bebas
Ke dunia, kau sambut kelahiranku

Tangisanku Ibu, menyunggingkan senyum di wajahmu
Peluh yang menetes seakan terbayar
Kau hela nafasmu penuh syukur
Seakan hari esok akan berubah indah
Meski misteri hidup tak selalu dapat kau terka

Ibu, dulu genap lima usiaku
Saat kita berjalan bergandengan tangan
Seolah sepasang kekasih dimadu cinta
Menyongsong matahari seolah bumi miliki kita berdua
Seakan yakin esok akan terbit lagi

Ibu, ingatkah dulu aku bercerita
Tentang harapan dan anganku yang bebas
Senyum di wajahmu seolah tunjukkan puas
Seakan semua yang kukatakan pasti dapat kugapai
Dan matamu tak berbohong

Kumpulan Puisi untuk Ibu

Dulu, selalu kau bertanya
Kemana aku kan pergi jika kau tiada
Selalu sama jawabku, kuingin ikut denganmu
Kau tersenyum, menyeka airmatamu
Lalu kau mengangkatku ke udara

Ibu, kini kau benar-benar pergi
Mengapa tak kau tanya lagi saat terakhir?
Kemana aku kan pergi?
Pada siapa ku mengadu?
Mengapa kau tak tanyakan itu?

Ibu .....
Sekalipun tua sudah kini usiaku
Namun masih di sana jiwaku terkubur
Di waktu kau menggenggam erat jemariku
Berjalan kita berdua menyusuri waktu
Menyongsong hari esok berdua

Ibu .....
Dengarkah kau jika ku bertanya?
Banggakah kau denganku kini?
Di sini aku berdiri, di hadapan peristirahatanmu
Sebab tak tahu mengatasi rasa rindu
Sebab tak tahu bagaimana menyeka airmataku

Dalam doa yang selalu kupanjatkan
Tersimpan harapan yang selalu kudambakan
Andai pun memang ada, kehidupan berikutnya
Ibu, jadilah ibuku sekali lagi
Jadilah ibuku, untuk selamanya!

Karya : Admin Kitapuistic

Selamat Jalan Sahabat Selamat Jalan Kekasih, Puisi Tentang Kehilangan

June 14, 2017 Posted by Edutafsi ,
Hilang, semua warna seperti hilang begitu saja
Saat kudengar kepergianmu yang selalu kutakutkan
Bukan tak siap untuk kehilangan, namun aku tak siap mengenang

Lenyap, semua canda seperti musnah seketika
Ketika kulihat jasadmu terbaring tak bernyawa
Bukan tak sanggup menyaksikan semua, namun aku tak kuat merindu

Pergi, seolah-olah semua nada beranjak pergi
Waktu kuperhatikan kafan membungkus tubuh mungilmu
Bukan tak siap untuk berpisah, hanya saja masih ku tak percaya

Buta, hari seakan gelap gulita membuat buta
Begitu kulihat tanah mengubur jasadmu yang tak berdaya
Bukan tak mau untuk melepasmu, hanya saja ku takut tak dapat ikhlas

Selamat jalan Kekasih,,,,
Berakhir sudah duka yang lama merampas senyummu
Kadang berfikir mungkin ini yang terbaik dari Tuhan untukmu

Selamat jalan Sahabat,,,,
Tenanglah sudah takan lagi kau menahan sakitmu di sini
Mungkin sudah suratan, semua itu ujian, penghapus dosa bagimu

Mungkin kan butuh waktu, menghibur lara, kehilanganmu
Tak kan mudah, menghapus senyummu, melupakan canda dan tawamu
Tangis ini mungkin takan berhenti meskipun hari akan terus berjalan
Terasa waktu terhenti di saat-saat kebersamaan kita

Begitu mata hendak terpejam, di waktu sunyiku, terkenang wajahmu
Kucoba hapus kenangan, tuk sejenak merelakan
Namun bayangmu selalu kembali dengan senyuman manis
Seolah kau tak pernah pergi, selalu berada dalam memoriku, takkan terganti

Terkadang kuberharap dapat melupakanmu
Agar tenang jiwamu di peristirahatan terkahirmu
Namun semakin kuat kucoba melupakan
Semakin sering kau hadir dalam lamunan

Seolah segala usaha ini sia-sia, setiap kali terkenang dirimu
Terbesit bagaimana candamu menghiasi hari-hari
Seakan saat itu begitu nyata dan hadir kembali

Di batas imajinasiku, kau terlukis begitu jelas seolah tak ingin memudar
Bukan tak ada hal lain yang dapat dilakukan
Namun mengenangmu selalu jadi bagian dalam langkah ini

Selamat jalan Sahabat ,,,,
Tenanglah di sana di pangkuan Ilahi yang maha cinta
Lenyaplah sudah seluruh duka lara, yang senantiasa kau sembunyikan

Selamat jalan Kekasih ,,,,
Tetaplah bersemayam di dalam hatiku hingga nanti
Biarlah ini jadi kekuatanku, mengenangmu kan jadi pelajaran

Selamat jalan Sahabat, selamat jalan Kekasih
Kelak, semoga kan bersama lagi.

Dengan Harap Kita Menjemput Pagi, Puisi Kerinduan

May 23, 2015 Posted by Edutafsi , ,
Entah apa yang terjadi, tak lagi dapat kita berbagi visi
Semua yang pernah jadi milikmu milikku hanya tinggal kenangan

Sekalipun mencoba, hanya melukai lebih dalam lagi
Tangis dalam pelukanpun tak senyaman dulu

Ketika fikiran dan hati masih dapat disatukan
Langkah kita berpencar tak tentu arah

Terkadang menyesal hanya mendorong kita lebih sengsara
Meski berulang, tak akan pernah habis difikir

Berpantang kembali tak mengalahkan gengsi
Sekalipun mati hidup hanya tuk sekali

Dalam gelisah kadang kita hanya bertanya
Cukup adilkah jalan yang memaksa untuk dilalui

Jikalau suratan menghendaki demikian
Maka bukankah semua mungkin sebuah hukuman
Wujud cinta atas apa yang pernah berlalu

Cinta dan benci yang bersemayam, sama besar
Saling menguatkan di saat tak mampu bertahan

Buta mencinta, bencipun membabi buta
Sebesar biji jagung, sudah cukuplah untuk matikan rasa

Biarkan malam ini mati sementara
Esok kita menjemput pagi dengan harapan

Jika Buku Bisa Bicara, Sebuah Puisi Tentang Buku

May 17, 2015 Posted by Edutafsi ,
Berdiri aku bersama tatapan kosong
Tepat di depan puluhan buku yang mengeram di rak
Dalam sesaat kudengar mereka saling berbisik

"Sedang apa si bodoh berdiri di sini?"
Menunggu pacar jawabku
Ah,,, mungkin aku sudah mulai gila.

Kucermati kertas indeks di sisi kanan rak
Berharap temukan daftar buku yang kucari
Gerombolan huruf-huruf kecil itu seperti menari-menari

"Apa cari bang?", telingaku menangkap suara
Kali ini biarkan aku lebih fokus
Sebab mungkin aku memang sudah gila.

Kepalaku mulai berputar dan kesabaran mulai habis
Entah mengapa mencari buku membuatku ingin muntah
Kali ini suara-suara mereka semakin jelas

"Dasar idiot, apa sebenarnya yang dia cari?"

Aku mencermati mereka membalik lembar demi lembarnya
Aku sudah tidak tahan lagi!

Fokusku akhirnya berhenti pada sebuah buku tua
Buku jelek bersampul coklat yang entah bagaimana bisa ada di sana

Sedikit bersemangat, aku terus mengumpat dalam hati
Siapa gerangan yang akan sudi membacanya?
Barangkali ia hanya sekumpulan kertas ubi kosong yang usang

Lantas tamparan keras mendarat di pipiku
Burung-burung berputar di kepala dan kritikan terniang di telinga
"Don't judge me by the cover!"
Kali ini aku benar-benar gila!

Apa Daya Aku Manusia, Puisi Tentang Manusia Sebatang Kara

May 17, 2015 Posted by Edutafsi ,
Malam berlalu, tapi gelap tetap bertengger
Mengurung segumpal darah di tempantya bergantung

Menyumpat udara yang memberi kehidupan
Membunuh keberanian yang pernah menguasai diri
Apa daya aku hanya manusia

Pada malam aku berbagi pilu
Tentang siang yang sama sekali tak indah

Tentang angin berhawa panas yang mengikuti setiap langkah
Lantas malam sepertinya tak pintar bersimpati

Memang tak panas tapi beku tulang karenanya
Apa daya aku manusia

Malam berlalu, tapi gelap tak bergeming
Kegelapan itu bertengger dalam seonggok darah

Menelan bulat-bulat nyali yang menciut
Tak ada satupun kesombongan mampu beralih

Pada siang terik aku bersumpah serapah
Tentang malam yang sama sekali tak bersahabat

Tentang awan hitam yang menghalangi keagungan bintang
Lantas siang sama sekali tidak empati

Hanya daun yang bergoyang seolah tak perduli
Apa daya aku manusia

Tak Ada Jalan Pulang, Perjalanan Akhir Dimulai

May 07, 2015 Posted by Edutafsi , ,
Tak seperti kebanyakan orang yang senang saat mengetahui dirinya lulus ke PTN, Lia justru merasa sedih dan tak kuasa menahan tangis. Airmata itu bukan airmata kebahagiaan melainkan kesedihan yang mendalam. Sang Ayah mendekati Lia dan menepuk bahunya sambil tertawa.
"Loh, kok malah nangis, paling juga empat tahun. Kan bisa pulang kalo kangen rumah."
"Ya ndok, kenapa kok mala nangis?" timpal Ibu.
Lia tak menjawab pertanyaan ibu dan terus menangis terseduh-seduh. Ibu lantas memeluknya dan membawa Lia ke kamar. Sambil bernyanyi Ibu membereskan barang-barang yang akan dibawa Lia.

Dani merasa aneh melihat tingkah sang kakak dan meminta Ayah untuk bertanya padanya. Ayah lantas menjelaskan kepada Dani bahwa hal itu biasa. Lia akan menjalani perkuliahan di luar kota, jauh dari keluarga, maka wajar jika ia bersedih. Begitulah pemikiran sang Ayah. Namun tidak begitu dengan Dani. Bocah itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Lia.

Karena tidak puas dengan penjelasan Ayah, sekitar pukul 10 malam, Dani memutuskan untuk menemui Lia di kamarnya. Selain heran dengan tingkah laku Lia, Dani juga merasa sedih karena harus berpisah dengan sang kakak.
"Kak?"
"Dani? Tunggu bentar," Lia segera menghentikan pekerjaannya dan membuka pintu. "Ada apa?"
"Boleh masuk?" tanya Dani.
Lia tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan Dani masuk. Dani mengamati kamar Lia yang terlihat kosong. Sebagian barang-barang telah tersusun dalam kardus-kardus dan koper. Di atas meja terlihat komputer masih menyala.
"Kok belum tidur?" tanya Lia. Suaranya masih terdengar parau.
"Iya nih gak bisa tidur. Kakak kenapa belum tidur?"
Lia tidak menjawab pertanyaan Dani dan hanya diam memperhatikan langit-langit kamarnya.
"Kok tadi kakak nangis sih? tanya Dani.
"Hmmm, gak tahu kakak sedih aja ninggalin rumah."
"Namanya juga kuliah kak, kan masih bisa telepon tiap hari. Kalau kangen bisa pulang."
"Ya, kakak akan sering telepon. Tapi, gimana kalau gak bisa pulang?" tiba-tiba airmata Lia menetes.
"Kok kakak ngomongnya gitu? emangnya ada apa sih?"
"Gak ada apa-apa dek. Udah ah, kakak ngantuk. Kamu tidur sana udah malam. Entar dimarah sama Ayah."
Deni pun segera keluar dari kamar Lia.

Keesokan harinya, setelah sarapan Lia berpelukan dengan Ibunya karena ia akan segera berangkat. Lia diantar oleh sang Ayah. Karena terbawa suasana Denipun ikut menangis saat melihat Lia menangis terseduh-seduh.

Dalam hatinya, ia juga merasa sedih. Meski begitu, Deni merasa bingung mengapa dia bersedih. Ayah lantas berusaha untuk menenangkan Lia. Setelah menyusun barang-barang di dalam bagasi mobil, Lia dan Ayahpun berangkat. Tak berapa lama kemudian, Deni juga berangkat ke sekolah.

Seminggu berlalu, rumah tampak sepi tanpa kehadiran Lia. Hampir setiap hari selepas maghrib Lia menelepon ke rumah. Ia mengatakan bahwa Ia sudah kangen rumah dan ingin pulang. Suaranya terdengar berat dan seperti sedang menangis.

Hal itu tentu membuat Ayah dan Ibu khawatir.
"Baru pergi kau sudah mau pulang. Sabar-sabar dong. Oya, gimana kuliahnya kak?" tanya Ayah lewat telepon.
"Baik, cuma kakak gak suka lingkungan di sini Yah."
"Loh kenapa memangnya? Ya namanya masih baru, entar kan terbiasa."
"Gak tahu ni, orang di sini aneh-aneh. Deni lagi ngapain?"
"Deni lagi keluar sama temennya. Eh udah dulu ya kak, Ayah mau pergi pengajian. Jaga kesehatan dan makan yang teratur. Dengar ya?"
"Iya Yah."

Tepat setelah Ayah mematikan teleponnya, pintu kamar Lia diketuk dari luar. Dari balik pintu terdengar suara wanita memanggil-manggil namanya. Lia segera membuka pintu namun tidak menemukan siapa-siapa. Hal itu membuat bulu kuduk Lia berdiri.

Apalagi ia yakin betul tak seorangpun di rumah itu yang mengetahui namanya. Matanya bergerak liar memperhatikan sekitarnya untuk mencari keberadaan wanita itu. Pepohonan mangga yang tumbuh di sekeliling rumah itu membuat suasana menjadi seram. Lampu penerang yang redup membuat suasana menjadi mencekam.

Lia memutuskan untuk segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Meski berada di dalam kamar, ia masih merinding dan ketakutan. Ia merasa heran siapa wanita yang memanggilnya itu. Tak berapa lama Lia mendengar dua orang tetangganya yang baru pulang dan lewat di depan kamarnya.

Lia lantas segera keluar dan menyapa mereka. Lia menceritakan kejadian yang ia alami dan kedua wanita itupun menatap Lia dengan ekspresi yang sulit dimengerti. 

"Ihhh kamu gak bercanda kan? Selama ini gak ada yang kayak gitu kok!" ucap Dini yang wajahnya berubah menjadi pucat.
"Ah paling temen kamu ngerjain," sambung Rani yang terlihat berusaha untuk tidak panik.
"Siapa juga yang kurang kerjaan gitu Ran? lagian dia sembunyi dimana coba?" repet Dini.
"Iya ya? terus itu siapa dong?" Rani bergerak merapat ke Dini.
Dini lantas bercerita panjang lebar tentang seorang wanita yang sebelumnya menempati kamar Lia. Wanita itu bernama Putri. Ia ditemukan tewas di halaman belakang setelah beberapa hari tidak terlihat.
"Banyak sih yang bilang sering diganggu tapi jangan sampek deh."
"Emangnya dia meninggal kenapa Kak?" tanya Lia.
"Katanya sih dibawa hantu penunggu pohon mangga itu."
Mata Lia terbelalak tak percaya.
"Katanya dia sering denger suara manggilin dia dari luar," jelas Dini.
"Hmmm, aku boleh numpang gak di kamar kakak? Takut sendirian."
"Boleh. Udah ayuk tidur sama kami aja," ajak Rani.
Lia membawa bantal dan selimutnya ke kamar Dini dan mereka bertiga tidur di sana karena takut.

Keesokan paginya, sekitar pukul setengah enam, Dini dan Rani terkejut karena pintu kamar terbuka dan Lia tidak ada di kamar. Mereka segera keluar mencari Lia ke kamarnya namun tidak ketemu. 
"Mungkin dia udah pergi Din."
"Ke mana jam segini Ran?"
Karena panik, Dini dan Rani pun membangunkan beberapa anak kos yang lain untuk menanyakan keberadaan Lia. Merekapun menceritakan tentang kejadian yang dialami Lia.

Karena ribut, salah seorang penghuni kos yang terkenal pendiam, Tiwi, keluar dari kamarnya dan mencoba bergabung. 
"Gak salah lagi, pasti ini ada hubungannya sama Putri!" ucap salah satu penhuni seniro di rumah itu.
"Tadi aku liat ada cewek sih di depan tapi aku gak terlalu merhatiin," sambung Tiwi.
"Bajunya warna apa?" tanya Dini.
"Hmm,, kalau gak salah warna hijau gitu rambutnya sebahu."
"Iya itu dia, kamu liat gak dia ke mana?"
"Tadi sih dia duduk doang di depan situ cuma gak tahu pergi kemana," jawab Tiwi sambil menunjuk sebuah kursi dari semen yang dibangun di depan rumah kos tepat di bawah pohon mangga.
"Di kamarnya yakin gak ada? aduh mesti lapor tante ini. Telepon tante ajalah daripada ntar kenap-napa."
Wanita itu segera menelepon pemilik kos untuk meminta bantuan.

Hari sudah terang, Lia belum juga ditemukan. Salah satu anak kos mencari ke kampus namun tidak menemukan Lia di sana. Ia bahkan merasa heran karena tidak satupun mahasiswa di kampus yang mengenali Lia.

Saat bertanya ke bagian jurusan, mereka mengatakan bahwa Lia tidak pernah hadir sejak hari pertama kuliah. Hal itu membuat Dini dan teman-temannya semakin bingung. Mereka semakin yakin Lia hilang karena handphone dan tasnya masih berada di kamar.

Sandal yang terkhir kali ia kenakan pun masih ada di depan kamar Dini. Setelah mendengar penjelasan Tiwi, Ibu kos pun berkesimpulan bahwa Lia disembunyikan oleh makhluk halus. Tak ingin kejadian yang menimpah Putri terulang, pemilik kos berinisiatif untuk mendatangkan orang pintar.

Setelah menunggu selama dua jam akhirnya orang pintar yang dihubungi oleh pemilik kos pun datang. Dia adalah Santi, seorang wanita paruh baya yang terkenal bisa mengusir setan yang tinggal di kompleks sebelah. Begitu masuk ke perkarangan rumah itu, mata Santi langsung tertuju pada salah satu anak kos, Tiwi.

Hal itu membuat semua orang bingung. Tiwi pun merasa tidak nyaman dngan tatapan Santi dan mencoba untuk bergeser. Pemilik kos segera menyambut Santi dan menceritakan kejadian yang menimpa Lia.

Santi segera masuk ke kamar Lia ditemani Ibu kos, sementara beberapa anak kos terlihat menunggu di depan kamar Lia sambil berbisik-bisik. Santi terlihat membacakan beberapa kalimat mantera dan berjalan mengitari tempat tidur Lia.

Tak berapa lama kemudian, Santi keluar dan menanyakan wajah Lia kepada ibu kos. Karena tidak ada foto di kamar Lia, Dini mencoba memeriksa handphone Lia yang tertinggal di kamar untuk menunjukkan wajah Lia kepada Santi.

Begitu melihat foto di handphone Lia, wajah Santi berubah menjadi pucat. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. Penjelasan Santipun membuat orang-orang terkejut dan merinding. Santi menjelaskan bahwa Lia lah yang ia lihat saat pertama kali masuk ke rumah itu.

Ia mengatakan bahwa saat itu Lia berdiri tepat di belakang Tiwi. Hal itu sontak membuat Tiwi terkejut. Dini dan Rani terlihat berpelukan. 
"Dia sudah hilang beberapa hari, mungkin sejak dia tinggal di sini. Itulah sebabnya dia tidak pernah datang ke kampus, makanya tidak ad yang kenal," jelas Santi.
Semua orang semakin terbelalak. 
"Tapi tadi malam dia tidur sama kami loh buk?" sanggah Dini.
"Itu cuma ruh nya."
Jawaban Santi membuat Rani dan Dini semakin bergidik. 

Santi meminta ibu kos untuk menghubungi orangtua Lia dan menyuruh mereka datang. Setibanya di sana, keluarga Lia pun menangis histeris saat mengetahui anak mereka telah meninggal dunia. Lia ditemukan dua jam sebelum orangtuanya sampai.

Lia ditemukan tak bernyawa di tempat yang sama dimana jasad Putri ditemukan. Orangtua Lia terlihat syok dan tidak percaya mendengar penjelasan Santi karena setiap hari mereka menerima telepon dari Lia. Santipun berusaha menjelaskan semampunya.

Di sela-sela penjelasan itu, Deni menceritakan kepada orangtuanya bahwa sehari setelah kepergian Lia, ia mendengar suara sang kakak menangis di kamar namun saat itu ia berfikir bahwa itu hanya mimpi.

Mei Basah, Sebuah Puisi Ungkapan Hati di Bulan Mei

May 06, 2015 Posted by Edutafsi ,
Hujan lagi, lagi-lagi hujan
Persinggahan seperti menjelma menjadi negeri di atas awan
Dari kejauhan mata-mata gedung mengintip malu
Di sela-sela petir angin mencoba berbisik
Daun jendela yang menggingil berdecit tak jelas
Jangan nangis kalau kena sembur hujan

Mendung lagi, lagi-lagi mendung
Lorong dan koridor menjelma jadi goa gelap gulita
Dalam telinga hiruk pikuk bersenandung rusuh
Burung hantu berselfie ria dipotret kilat
Petir menggonggong anjing membisu membodoh
Mau nangis malu dilihat banyak orang

10 menit, 20 menit, 1 jam sudah
Hujan terus, terus-terusan hujan tak berhenti
Atap 40 cm terbang ikut-ikutan angin tampilkan badai
Berjam-jam bertapah akhirnya basah juga
Kampret!

Banjir lagi, lagi-lagi banjir
Selokan muntah berubah jadi sungai musi
Tak cuma petir, klaksonpun tak berhenti berteriak
Mau marah takut dikeroyok
Kampret!